Whitewashing Ironi Hollywood


Gemerlap Hollywood terselip ironi sosial, salah satunya adalah whitewashing. Dunia film Hollywood memiliki masalh besar dalam hal casting, semacam isu racism, dengan menggunakan aktor kulit putih untuk memerankan tokoh kulit hitam atau kuning.

<img src="dragonball_evolution_goku.png" alt="dragonball_evolution_goku">


Ambil contoh film The Last Airbender. Bila dalam cerita asli Avatar: The Last Airbender, mengambil setting di dunia dengan budaya bela diri Asia namun tidak halnya dengan versi film Hollywood. Banyak pemerannya, contoh saja Noah Ringer yang memerankan karakter Aang, jauh dari kesan bocah Asia.
Pada film Tekken tahun 2009 sedikit lebih baik, karakter Jin Kazama (berasal Jepang) diperankan oleh Jon Foo, yang memiliki darah Asia dari ayahnya, sedangkan ibunya berasal dari Irlandia. Sementara untuk karakter Kazuya Mishima (ayah Jin Kazama, juga berasal dari Jepang) diperankan oleh Ian Anthony Dale yang memiliki darah keturunan Jepang, Perancis, dan Inggris.
Pada tahun 1937 film The Good Earth dengan karakter Wang dan O-Lan, keduanya diperankan oleh Paul Muni dan Luise Rainer.
Pada tahun 1944 Jade Tan karakter dalam film Dragon Seed diperankan oleh Katharine Hepburn.
Film Apache tahun 1954, Massai sosok penduduk asli Amerika diperankan oleh Burt Lanchaster.
Sosok Gengis Khan Kaisar Bangsa Mongol dalam film The Conqueror tahun 1956 diperankan oleh John Wayne.
Karakter Sakini dalam The Teahouse of the August Moon tahun 1956 diperankan Marlon Brando.
Hae-Joo Chang dalam film Cloud Atlas tahun 2012 diperankan Jim Sturgess.
Film Prince of Persia: The Sands of Time tahun 2010 dengan pemeran utama Jake Gyllenhaal, sosok kulit putih yang harus dibuat gelap agar menyerupai Bangsa Persia.
Dari semuanya, film Hollywood paling menyedihkan adalah Dragonball Evolution pada tahun 2009. Film yang diadaptasi dari manga dan anime legendaris Dragon Ball tersebut terlau jauh dari kesan Asia. Son Goku yang menjadi tokoh utama dalam serial anime tersebut diperankan oleh Justin Chatwin yang berasal dari Kanada. Banyak pengemar Dragon Ball yang kecewa bukan hanya dari sisi pemerannya namun juga alur cerita yang tidak sesuai (jauh berbeda) dari anime aslinya. Satu bagian dalam film Son Goku pergi ke sekolah, padahal dalam anime Son Goku tinggal di gunung dan jauh dari pendidikan.
Banyak pekerjaan bagi industri Hollywood agar lebih baik, serta mengatasi isu racism tersebut.
Lihat juga mengenai informasi film Dragon Ball Z: The Resurrection of F 2015.